Ibu
Rumah Tangga Bukan Pengangguran
Sebagian orang berpikir bahwa ibu rumah tangga ini seperti pengangguran karena
tidak menghasilkan uang setiap bulannya dari perusahaan, lembaga, yayasan, atau
sejenisnya. Ibu Rumah Tangga dipandang sebelah mata karena yang dilihat hanya
melakukan pekerjaan rumah layaknya seperti yang dilakukan oleh Asisten Rumah
Tangga. Padahal kenyataannya banyak sekali yang harus dilakukan oleh Ibu Rumah
Tangga, bukan sekadar berbenah rumah dan memasak saja. Ia harus mengatur
keuangan rumah tangga, memastikan bahwa pendidikan anak-anak terkendali, memberikan
teladan yang baik kepada anak-anak. Tugas-tugas itu tentunya bukan urusan dan
ranah asisten rumah tangga. Tugas-tugas itu berat. Tugas yang menjadi arsitek
peradaban bangsa kelak.
Ibu Rumah Tangga memang tidak menghasilkan uang, namun jika digaji satu demi
satu dar pekerjaan hariannya bisa jadi
gajinya lebih besar dari karyawan di perusahaan. Untuk menggaji tukang setrika
baju, tukang masak, tukang antar jemput anak ke sekolah, tukang berbenah rumah,
menjadi dokter dan perawat di rumah, menjadi manajer keuangan keluarga, dan
sebagainya. Pandangan sebagian masyakarat seharusnya diluruskan dan dibuka cara
berpikirnya.
Tidak semua wanita harus menjadi ibu bekerja di luar rumah, ada kondisi-kondisi
tertentu yang menjadikannya harus berada di rumah. Setiap keluarga punya
keputusan dan pertimbangannya masing-masing, jadi selayaknya harus dihargai dan
dhormati secara penuh. Terlebih mungkin jika seorang suami bisa memberikan
nafkah yang cukup dan berlebih, sehingga mereka memutuskan agar suami saja yang
bekerja dan istri berada di rumah.
Ibu Rumah Tangga Mengaktualisasikan Diri
Agar tidak hanya sekadar menjadi Ibu Rumah Tangga, maka saya berpikir bahwa ia
tidak boleh hanya melakukan aktivitas dapur dan sumur saja. Ibu Rumah Tangga
harus berani dan mau mengaktuliasikan dirinya, misalnya berkomunitas,
berorganisasi, menjalani kegemarannya yang bisa menghasilkan pundipundi rupiah
maupun tidak, sehingga ia memiliki value yang terus tumbuh dan
berkembang. Jika suatu saat misalnya memutuskan untuk bekerja di luar rumah, ia
tetap bisa, ia mampu melakukannya dan mampu berkontribusi penuh.
Jika ia suka menulis, ia bisa berkembang dengan tulisannya walau “hanya” dalam
rumah saja. Misalnya dengan aktif menulis di blog berbayar, mengikuti kompetisi-kompetisi
menulis, mengikuti seminar kepenulisan, aktif di komunitas dan organisasi
kepenulisan, dan menjadi pegiat literasi. Semua bisa dilakukan oleh ibu rumah
tangga. Ketika ada agenda di luar rumah yang mengharuskan ia harus beranjak
dari rumahnya, ia bisa berbagi tugas dan peran dengan suaminya atau kerabat
dekat. Perannya menjadi Ibu Rumah Tangga tidak luluh. Ia tetaplah seorang Ibu Rumah
Tangga, namun Ibu Rumah tangga yang bukan sekadar Ibu Rumah Tangga, Ibu Rumah
Tangga yang bervalue tinggi.
Jika ia suka memasak, ia bisa mengembangkan bakat memasaknya dengan menjual
hasil masakannya, mengikuti kursus-kursus memasak yang ia butuhkan. Semua
dilakukan dengan konsisten, sehingga nantinya akan berbuah semakin besar. Ia akan
merasakannya tidak secara instan, butuh waktu bertahun-tahun. Namun dengan
begitu ia tidak akan merasakan kejenuhan, dan tidak menjadi sekadar ibu rumah
tangga yang dipandang sebelah mata.
Jika ia suka kerajinan tangan, hasil dari kerajinan tangannya bisa dijual melalui
orang-orang terdekat, mengikuti kursus kerajinan tangan yang levelnya lebih
tinggi, aktif menunjukkan kerajinan tangannya di media sosial, sehingga nilai-nilai
sebagai Ibu Rumah Tangganya meningkat.
Antara Ijazah dan Keterampilan
Terkadang,
ada Ibu Rumah Tangga yang berpendidikan tinggi dengan latar belakang keilmuan sains
misalnya, namun terus mengasah keterampilan menulis atau memasak. Apakah baik
seperti itu? Itu pilihan masing-masing. Jika merasa tidak masalah, tentu saja
tidak apa-apa. Apalagi jika sudah ada target ke depannya akan seperti apa. Persentase
latar belakang keilmuan seseorang yang bekerja di ranah publik pun ternyata
lebih tinggi disbanding yang linear dengan keilmuan yang ia miliki di perguruan
tinggi. Jadi, tentunya di sini butuh dipikir lebih matang apakah mau mengambil
jalan ibu rumah tangga yang berprinsip tetap pada latar belakang yang tercantum
di ijazahnya atau mengasah hobi yang sudah ada.
Banyak orang sukses yang berhasil dengan skillnya tanpa melupakan latar
belakang pendidikannya. Jadi apapun latar belakang pendidikannya, itu sebuah
hal yang sudah ditempuh, ada kerangka berpikir yang terbentuk di sana, dan
tidak selalu harus sejalan di kemudian hari. Setiap orang punya keutusan dan
pilihannya masing-masing dan tidak perlu ada yang disesali. Semua yang telah
dilalui ada prosesnya, tidak ada yang sia-sia, dan ada manfaat bersamanya.
Bangga Menjadi Ibu Rumah Tangga
Tidak perlu minder,
berkecil hati, atau rendah diri menjadi Ibu Rumah Tangga, karena sejatinya Ibu
Rumah Tangga adalah peran yang membanggakan ia menjadi madrasah untuk
anak-anaknya, ia menjadi pengatur keuangan rumah tangga, ia sebagai pusat
ketentraman dalam rumah. Jika teman-teman semasa sekolah dahulu sudah memiliki
posisi dan jabatan tinggi di perusahaan, sudah menjadi pegawai negeri, sudah
menjadi apa yang dimimpi-mimpikan orang, tidak perlu merasa bahwa ibu rumah
tangga hanya berjalan di tempat, tidak melakukan pencapaian seperti mereka.
Perlu ditanamkan di dalam diri bahwa menjadi ibu rumah tangga itu pekerjaan
yang mulia yang tentunya tidak semua orang sanggup untuk menjalaninya.
Banyak wanita yang tidak siap menjadi Ibu Rumah Tangga karena begitu banyak
gejolak di pikiran, merasa tidak bangga dengan diri sendiri, berpikir apakah
anak-anak tidak bangga dengannya. Padahal itu hanya berada di dalam pikiran saja,
masih banyak orang yang sangat menghargai keberadaan Ibu Rumah Tangga, sejatinya
anak-anak ingin selalu ada di dekat ibunya, diperhatikan dan dipedulikan oleh
ibunya, anak-anak rindu dengan ibunya. Maka, dengan segala hal keistimewaan itu
apakah masih tidak bangga menjadi Ibu Rumah Tangga?
Jika
Suatu Hari Bekerja di Luar Rumah
Wanita yang mengambil jalan menjadi Ibu Rumah
Tangga saat ini belum tentu menjadi Ibu Rumah Tangga untuk seterusnya. Bisa
jadi ketika anak-anaknya sudah besar, maka tugas pengasuhan yang harus didik di
rumah selama 24 jam menjadi terbagi dengan sekolah, sehingga ia bisa
mengaktualisaikan dirinya di luar rumah. Maka, ketika dulu ia memutuskan untuk
menjadi Ibu Rumah Tangga dengan mengasah keterampilannya, ia masih bisa survive
di dunia kerja. Untuk itu, walaupun memutuskan untuk menjadi Ibu Rumah Tangga sebaiknya
tidak boleh hanya sekadar melakukan pekerjaan harian rumah saja, tetap harus
mengasah dan menambah skill. Asupan nutrisi otak sangat dibutuhkan agar
tetap melaju bersama perkembangan zaman.
Sebelum ingin aktif di luar rumah, sebaiknya sudah melakukan diskusi yang mindful
bersama pasangan, sehingga tidak ada kesalahpahaman. Untuk memulai hal yang
baru tentunya tidak mudah, ada hal yang biasanya dilakukan, namun Ketika sudah
berubah menjadi bergerak seiring perubahan itu. Suami dan istri juga harus
mengondisikan anak-anak agar terbiasa dengan hal yang baru. Mereka harus paham
bahwa ada kondisi yang berubah, ibunya sudah tidak 24 jam lagi di rumah, yang mungkin juga ketika mereka
pulang sekolah tidak langsung melihat Ibunya.
0 komentar:
Posting Komentar