Sabtu, 24 Mei 2025

Mendidik Anak dengan Cinta


Terdengar sangat sederhana, mendidik anak dengan cinta. Namun pada penerapannya tidak semudah apa yang diucapkan. Orangtua tidak selalu bisa menerapkan ini, kadang ia atau mereka lebih mencintai dirinya, ada ego yang lebih tinggi, ada tekanan dan sebagainya. Mendidik anak dengan sepenuh cinta butuh mental yang sehat.


Saat ini marak sekali kita dengar atau baca di media sosial ibu yang baby blues, post partum depression yanh berkepanjangan, sehingga yang menjadi korban adalah anak yang seharusnya ia cintai dengan tulus. Seorang ibu utamanya sangat membutuhkan support system. Ia sangat lelah, bagaimanapun kondisinya. Makhluk yang lemah. Ia butuh kekuatan dan dukungan dari suaminya. Namun terkadang suami abai. Suami merasa istrinya baik-baik saja. Padahal istrinya memendam semua gejolak yang ada di jiwanya. Ia simpan rapat-rapat. Namun gejolak yang negatif itu sewaktu-waktu bisa meledak, melukai orang di sekitarnya, terutama anak.


Agar ibu bisa mendidik anak dengan cinta, maka ia harus merasa dicintai terlebih dahulu. Ia harus bahagia. Jika ia tidak merasa dicintai, maka akan sulit baginya untuk membagikan cintanya kepada siapapun. Seperti cinta sepihak jika ia hanya memberikan cinta. Tentu saja ia menginginkan cinta yang berbalas. Cinta yang tidak bertepuk sebelah tangan. Cinta yang gayung bersambut. 


Support system utamanya adalah suami. Banyak ibu yang tidak memiliki baby sitter ataupun asisten rumah tangga, namun cinta suami terhadapnya begitu besar. Sehingga selelah apapun harinya, ia tetap bahagia. Ketika suami pulang bekerja, langsung mengambil peran untuk menggendong bayi, mengambilkan nasi kepada istri yang sedang menyusui, atau bahkan bangun tengah malam menemani istri menyusui bayinya. Istri akan sangat bahagia jika ia merasa ditemani. Ia merasa tidak sendirian menjalani hari-harinya. Ada dukungan penuh suami yang menjadikan ia bahagia.


Namun di belahan bumi yang lain bahkan ada ibu yang memiliki asisten rumah tangga atau baby sitter, namun hatinya gundah, ia mengalami gangguan kesehatan mental. Setelah ditelusuri ternyata suaminya tidak memerhatikannya. Suami terua bekerja tanpa mengenal waktu. Padahal ia ingin sekali menceritakan kesehariannya di rumah bersama anak. Namun itu tidak ia dapatkan. Sehingga apa yang terjadi? Tangki cintanya tidak terisi. Sehingga ia tidak bahagia. Ketidakbahagiaan ini menimbulkan efek-efek kepada pengasuhan anak. Ibu mudah tersulit emosi. Ibu mudah marah dan bisa melukai tubuh anak seperti memukul atau mencubit. Na’udzubillah.


Mendidik cinta itu harus diusahakan kedua pihak, baik dari istri maupun suami. Tidak bisa hanya sepihak saja. Jika sepihak, artinya tidak ada keselarasan, keseimbangan. Hasilnya bisa dipastikan tidak optimal. Akan ada yang merasa si paling berkorban, si paling lelah, si paling keluarga. Bisa jadi dari sudut pandang suami, ia merasa bahwa kesibukannya bekerja adalah untuk keluarga, agar istri dan anak-anaknya bisa terpenuhi kebutuhannya. Namun ia lupa bahwa kehadirannya juga penting di tengah orang-orang yang mencintainya. Suami perlu disadarkan perannya baik melalui istri secara langsung, orangtua, kerabat atau orang yang berpengaruh dalam hidupnya seperti guru atau ustadz. Semoga menjadi pelajaran bagi para suami untuk mendidik anak dengan penuh cinta. 


Share:

0 komentar:

Posting Komentar